Selasa, 14 Desember 2010

catatan pendidikan:mengembalikan jati diri bangsa

Mengembalikan Jati Diri Bangsa : Pendidikan
Berbicara tentang pendidikan tentu tidak bisa terlepas dari pembangunan karakter bangsa. Ir.Soekarno Presiden Pertama Republik Indonesia sering memunculkan istilah nation building dalam beberapa ceramah dan tulisan yang dibuatnya. Tak pelak memang maksud dari nation building adalah bagaimana pendidikan yang ada di bangku sekolah dan kuliah mampu membangun karakter yang kuat, dan berintegritas. Memang ternyata, pada akhirnya pendidikanlah yang mampu membuat sebuah bangsa maju atau mundur.
Kita bisa melihat bersama saat ini, berapa banyak pengangguran yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, atau berapa banyak anak kecil yang putus sekolah karena sempitnya paradigma tentang investasi pendidikan oleh para orangtua yang notabenenya juga rendah dalam tingkat pendidikan. Hasilnya bisa kita lihat dengan apa yang kita lihat saat ini.
Negara Indonesia seakan tidak menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, kita hanya menjadi host untuk negara lain, bukan sebagai master atas apa yang menjadi hak kita sebagai pemilik negara Indonesia beserta semua wilayah dan isinya. Dampak lain yang juga muncul adalah harga diri kita sebagai seorang Indonesia, yang tampaknya kita rela menjual harga diri ini untuk hanya sejumlah uang, dan bahkan rela menjual sesama orang Indonesia untuk kekayaan semu.
Kegagalan sistem pendidikan kita telah menghasilkan banyak koruptor dan perusak bangsa. Ini artinya ada hal yang perlu diperbaiki dari sistem pendidikan di Indonesia. Jika tidak segera diperbaiki bisa jadi akan menjadi bumerang untuk pembangunan Negara Maritim ini. Mengapa saya menyebutnya bumerang ? karena bisa jadi negara ini hancur bukan karena pengaruh luar, tetapi justru adanya penghancur dari dalam Indonesia itu sendiri, yakni orang Indonesia yang tidak memiliki kecintaan akan jati diri bangsanya.
Peran pendidikan akan sangat penting, dimana pendidikan tidak hanya berperan sebagai wahana untuk transfer ilmu, akan tetapi juga untuk pendidikan karakter. Peran pendidik akan lebih berat tentunya, karena ia tidak hanya berperan untuk mengajarkan ilmu begitu saja, tetapi juga menamkan nilai ke-Indonesia-an kepada para pelajar Indonesia.
Kurikulum pendidikan pun juga perlu dilakukan penyesuaian dimana materi yang diberikan harus lebih berdasar pada karakter bangsa, mengubah sistem evaluasi materi dengan tidak hanya menggunakan ujian tertulis sebagai sumber data untuk evaluasi, akan tetapi perlu juga dilihat aspek achievement tertentu yang diraih oleh seorang pelajar. Karena jika kita mampu membuat siswa mendapatkan suatu prestasi tanpa adanya tekanan yang bersifat pragmatis ( seperti : seorang siswa ingin mendapat nilai baik hanya karena ingin naik kelas ), akan tetapi harus dimulai dari satu kesadaran bahwa berprestasi akan bermanfaat untuk diri sendiri.
Dari pendidikan Indonesia akan mampu mengembalikan jati diri bangsa ini. Jati diri dan nilai luhur yang pernah menghasilkan seorang sekelas Muhammad Natsir, Bung Hatta dan HOS Cokroaminoto harus bisa di internalisasikan dengan baik ke para pemuda-pemudi harapan bangsa. Menjadi tanggung jawab bersama untuk menjadikan pendidikan di Indonesia lebih berkualitas dan berkarakter.
Demi Tuhan, untuk Bangsa dan Almamater (RYA)

Ku Mencintamu utuh Tak Tersentuh

Bismillahirrahmanirrahiim....



Artikel diambil dari Grup: Renungan Kisah Inspiratif MuslimahJudul: Ku Mencintamu utuh Tak Tersentuh



***Jika ada yang bertanya, bagaimana aku memandang perkara jodoh, maka akan ku jawab, bagiku sama saja kau menanyakan keyakinanku tentang kematian..





Jodoh dan kematian adalah rahasia-Nya yang tersembunyi dalam tabir keghaiban-Nya, dan tersimpan dengan indah dalam tiap lembar daun di lauhul mahfuzh..





Jangan pernah mengobral murah kehormatanmu untuk hal yang kau sendiri tak yakin kehakikiannya? Pahamkah maksudku?





Ku tanya padamu, pernahkah kau jatuh cinta? Ku akui, akupun juga… Tapi tak pantas bagi kita mengumbar rasa itu.. Rasa yg entah akan berlabuh di mana?Lalu pikirkan, jika dia yang kau cinta, yang mengganggu tidurmu, membuatmu menangis karena rindu, ternyata bukan atau mungkin tak kan pernah menjadi pendampingmu, atau bukan kau yang dia pilih? Tak malukah? Tak malukah?





Lalu, apa masih mampu kau tatap wajah suamimu kelak dengan cinta yang seutuhnya jika ternyata dulu kau pernah menaruh separuh hatimu pada lelaki lain… Wahai para lelaki, tak cemburukah? Tak cemburukah? Tak cemburukah kau jika saat ini wanita yang kau pilih kelak sedang menyerahkan hatinya pada lelaki selainmu, namun ternyata kau yang akan meminangnya.





Tak sakit hatikah bila ketika bersamamu, ternyata dia tengah membandingkanmu dengan sosok lain dalam hatinya? Tak sedihkah? Tak sakitkah? Tak cemburukah? Jika kau, para lelaki, menjawab 'ya' maka, itu pula yang kami, wanita, rasakan..





Takkan pernah bosan ku ingatkan, bahwa yang akan berlaku tetaplah ketetapan-Nya…. Sekuat apapun usaha kalian jika tak sejalan dengan kehendak-Nya, maka tak akan pernah terjadi.. . Lalu, buat apa kau mubazirkan waktumu? Untuk apa Kau kuras energi? Kerana apa kau habiskan airmatamu?.... untuk orang yang belum tentu menjadi milikmu? Untuk apa?





Dan ku katakan padamu. Mungkin kau yang akan memilihku belum ku cinta saat itu. Tapi ketahuilah, karena kau memilihku, kau ku cinta... Bukankah jatuh cinta adalah sebuah proses? Akan ada sebab, akan ada hal yang membuatku jatuh cinta padamu, dan kau pun akan mencintaiku.. Dan ketika itu terjadi, semua telah terangkai dengan indah dalam kerangka kehalalan, dalam ikatan pernikahan yang disebut mitsaqan ghalizhan..





Dan tak akan pernah ada ragu ku katakan kuserahkan cintaku UTUH TAK TERSENTUH, padamu.. Hanya padamu.. ya, hanya padamu dan untukmu duhai cintaku….



Catatan yg diambil dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=119520411434716



(Disunting untuk kesesuaian) Maaf



(once again, semoga bermanfaat, aamiin3..)

belajar perbedaan...

Detik, menit, hari, tahun adalah teman yang setia

menemani kita di dunia.

Yang telah menemaniku dalam belajar tentang perbedaan iman dan jahl

perbedaan dewasa dengan kekanak-kanakan

perbedaan CINTA dengan sekadar SUKA

perbedaan semangat yang merusak dengan semangat yang suci dari nafsu

perbedaan tenang dengan latah

perbedaaan kawan dengan sekadar kenal

perbedaan ilmu dengan kesombongan

perbedaa materi dengan esensi

perbedaan kekayaan dengan harta yang barokah

perbedaan mimpi, harapan dan kenyataan

perbedaan ukhuwah dengan permusuhan

perbedaan ideologi dengan realita

perbedaan tanah yang gelap dengan langit yang terang

perbedaan aqli dengan naqli

perbedaan belum tau dengan bodoh

perbedaan kesenangan sesaat dengan kemenangan yang pasti.

Terakhir engakaupun wahai waktu akan menemanikujuga tuk belajar,,

perbedaan mati dengan hidup

syurga dan neraka

mulia dengan hina.

Engkau telah menemaniku...

Berapa lama lagikah engkau diizinkanNya menemaniku???

Apa kau senang menemaniku??

Atau kau menyesal bersamaku??

Maafkan aku jika ku membuatmu marah..menyia-nyiakanmu..

Doakan aku wahai temanku agar aku bisa setia pula menjagamu sang waktu yang bersamaku...

Dan kalian wahai saudaraQ...terimakasih atas kebersamaan selama ini..ijinkan aku belajar banyak dari kalian orang-orang LUAR BIASA yang MENGINSPIRASIq...



( renungan menjelang seperrempat abad di dunia...)

inpired by : "Mutter hier"191010

Die Zeitenfolge(tugas UAS)

Die Zeitenfolge (consecutio temporum)

Aussagen in Haupt- und Nebensatz stehen in einem zeitlichen
Abhängigkeitsverhältnis. Je nachdem, ob das Geschehen des Nebensatzes
gleichzeitig mit dem Geschehen des Hauptsatzes oder vor bzw. nach diesem abläuft,
spricht man von Gleichzeitigkeit, Vorzeitigkeit oder Nachzeitigkeit. Für die
Zeitenfolge gelten bestimmte Regeln.

Gleichzeitigkeit

Gleichzeitigkeit wird durch die gleiche Zeit ausgedrückt, kann aber auch durch
verschiedene Zeitformen ausgedrückt werden, weil Perfekt und Präteritum sowie
Futur I und Präsens oft austauschbar sind:

Wenn er lernt, lässt er sich nicht ablenken. Als er seine Lehre machte, besuchte
er einmal wöchentlich die Berufsschule. Während ich in Heidelberg studiere, rufe
ich dich täglich an.

Vorzeitigkeit wird durch verschiedene Zeitformen ausgedrückt: vorzeitig zum
Präsens ist das Perfekt, zum Präteritum das Plusquamperfekt, zum Futur I das Perfekt
(statt Futur II):

Vorzeitigkeit

Nachdem er das akzeptiert hat, ist alles klar. Seitdem sie die Prüfung bestanden


hatte, war sie glücklich. Wenn die Delegation in Berlin eingetroffen ist (statt:
eingetroffen sein wird), wird sie zuerst eine Stadtrundfahrt unternehmen.

Nachzeitigkeit (umgekehrte Vorzeitigkeit) wird durch verschiedene Zeitformen
ausgedrückt: nachzeitig zum Perfekt ist das Präsens, zum Plusquamperfekt das
Präteritum, zum Perfekt (statt Futur II) das Futur I:

Nachzeitigkeit

Bevor er zur Arbeit geht, hat er schon ausgiebig gefrühstückt. Bevor er eine
Lehre begann, hatte er schon in einem anderen Beruf gearbeitet. Bis er sich
selbstständig machen wird, hat er genügend Geld zurückgelegt (statt: wird ...
zurückgelegt haben)

Sehr häufig wird statt Nachzeitigkeit aber Gleichzeitigkeit gebraucht:

Bevor er zur Arbeit geht, frühstückt er ausgiebig. Bevor er eine Lehre begann,
arbeitete er schon in einem anderen Beruf. Bis er sich selbstständig macht, legt er
genügend Geld zurück.

Der relative Gebrauch der Zeitformen:

Zeitstufen
Zeitverhältnis Vergangenheit Gegenwart Zukunft
Gleichzeitigkeit Präteritum
(Perfekt)
+
Präteritum
(Perfekt)
Präsens
+
Präsens
Futur I
(Präsens)
+
Futur I
(Präsens)
Vorzeitigkeit Präteritum
+
Plusquamperfekt
Präsens
+
Perfekt
Futur I
+
Futur II
(Perfekt)